Di tengah tuntutan modernisasi pemerintahan dan akuntabilitas publik, Jawa Barat justru mengalami kemunduran simbolik dalam praktik politik kekuasaan.
Fenomena ini tercermin dari gaya kepemimpinan Gubernur Jawa Barat, KDM, yang secara konsisten mencitrakan dirinya sebagai figur tunggal penggerak perubahan, seolah-olah ia adalah Raja Siliwangi modern.
Melalui video-video harian yang diunggah dan disebarluaskan, sosok KDM tidak tampil sebagai pemimpin birokratik yang bekerja berdasarkan sistem dan tata kelola kelembagaan, melainkan sebagai figur karismatik yang bertindak “atas kehendaknya sendiri”, melampaui fungsi dan peran lembaga-lembaga formal seperti Bappeda, DPRD, serta dinas-dinas teknis yang seharusnya menjadi ujung tombak pembangunan berbasis data, partisipasi publik, dan kepastian hukum.
Atavisme Birokrasi: Menghidupkan Masa Silam di Era Modern
Atavisme adalah kembalinya pola-pola lama yang seharusnya telah ditinggalkan dalam evolusi sosial. Dalam konteks ini, gaya pemerintahan KDM mencerminkan bentuk “atavisme birokrasi”, yaitu regresi pada model pemerintahan feodalistik, personalistik, dan berpusat pada sosok tunggal pemimpin, alih-alih kolektif kelembagaan modern.
Dalam sejarah feodalisme Nusantara, termasuk narasi-narasi mitologis tentang Prabu Siliwangi, pemimpin dianggap sebagai titisan kebesaran, penguasa mutlak yang menjadi pusat kebenaran dan sumber hukum.
Sayangnya, semangat ini seolah dihidupkan kembali oleh KDM dalam cara ia menampilkan dirinya di media sosial, dalam pengambilan keputusan, dan dalam pembangunan simbolik yang tidak melibatkan proses demokratis secara substantif.
Padahal, dalam sistem demokrasi modern, pemerintahan seharusnya bersandar pada prinsip checks and balances, tata kelola transparan, dan kolaborasi antara lembaga.
KDM seolah melebur institusi negara ke dalam tubuhnya sendiri, sebagaimana Louis XIV pernah menyatakan, “L’État, c’est moi” — “Negara adalah saya.” Ungkapan ini justru merupakan antitesis dari semangat Revolusi Prancis yang ingin membebaskan rakyat dari absolutisme.
Bahaya Kultus Individu dalam Demokrasi Lokal
Apa yang sedang terjadi di Jawa Barat bukan sekadar gaya komunikasi, tetapi merupakan pembentukan kultus individu yang berbahaya bagi demokrasi lokal. Ketika seorang kepala daerah menjadi pusat segala keputusan, dan rakyat diarahkan untuk mencintai sosoknya alih-alih sistemnya, maka kita sedang berjalan mundur.
Kultus individu mengaburkan batas antara pemimpin dan institusi. Rakyat menjadi pengikut, bukan warga negara. Aparatur menjadi pelayan pribadi, bukan pelaksana kebijakan publik. Proses pembangunan kehilangan orientasi objektif dan menjadi sekadar panggung citra.
Gubernur bukanlah raja, melainkan pelayan rakyat. Bukan simbol absolutisme, tetapi pengelola sistem demokrasi yang berbasis hukum, data, dan musyawarah.